Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 183).
Allahuma bariklana fii Rajab wa Sya’ban, wa ballighna Ramadlan… (ya Allah berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami pada Ramadhan) (HR. Ahmad dan Bazzar). “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan penghulu segala bulan, maka “Selamat datanglah” kepadanya.”
Itulah salah satu doa dan pesan yang disampaikan oleh Rasulullah saw
dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, bulan suci yang sebentar lagi
datang menyapa kita. Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah yang
dinanti-nantikan oleh setiap muslim dan mukmin, yang selalu datang
dengan membawa hadiah istimewa penuh kejutan dari Allah swt. Ia begitu
dinanti-nanti karena mengandung kemuliaan yang amat besar, yang tak
bisa dijumpai pada bulan-bulan lainnya. Bagi mereka yang benar-benar
mengetahui hadiah apa yang dibawa oleh bulan Ramadhan dan kepada siapa
hadiah itu akan diberikan, niscaya mereka akan bersuka cita dan akan
mempersiapkan diri untuk menyambutnya. “Marhaban Ya Ramadhan (selamat datang bulan Ramadhan), kami sambut kedatanganmu dengan penuh suka cita.”
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata “marhaban” terambil dari akar kata “rahb”
yang berarti “luas atau lapang”, sehingga marhaban menggambarkan bahwa
tamu yang datang disambut dan diterima dengan lapang dada, penuh
kegembiraan, serta dipersiapkan baginya tempat yang luas untuk
melakukan apa saja yang dia inginkan. Dari
kata ini, terbentuk kata “rahbah” yang antara lain, diartikan sebagai
“ruangan luas untuk mobil,” guna memperoleh perbaikan atau kebutuhan
bagi kelanjutan perjalanannya. “Marhaban Ya Syahra Ramadhan” berarti,
“kami menyambutmu dengan penuh kegembiraan dan kami persiapkan untukmu
tempat yang luas agar engkau bebas melakukan apa saja, yang berkaitan
dengan upaya mengasah dan mengasuh jiwa kami.”
Dalam bahasa Arab bulan disebut dengan “syahr”
yang bermakna “terkenal” atau populer. Orang Arab biasanya menamai
bulan sesuai dengan keadaan di mana bulan itu berlangsung. Karena pada
masa turunnya perintah puasa adalah musim panas yang terik, maka bulan
itu dinamai “Ramadhan” yang akar katanya dari “Ramidha” yang
berarti “sangat panas, membakar” disebabkan panas matahari yang luar
biasa menyinari pasir-pasir gurun. Ada juga pengertian lain yaitu “batu
(karang) yang membakar.”
Pengertian
di atas sesuai dengan makna filosofis bulan Ramadhan, yaitu membakar
dosa-dosa yang pernah dilakukan dengan menahan makan dan minum dan
apa-apa yang membatalkannya. Juga dapat dianalogikan, untuk membuat
sesuatu lebih terbakar adalah dengan menghimpitnya di antara dua batu
(karang) lembut, lalu memukul-mukul sifat (buruk)-nya sendiri di antara
dua batu (karang), yakni lapar dan haus. Rasulullah SAW, bersabda, “dinamakan bulan Ramadhan karena ia cenderung membakar dosa-dosa.”
Ramadhan adalah tamu agung yang kita mungkin tidak akan didatanginya lagi tahun depan. Sedangkan “lail al-qadr,”
malam pengampunan puncak dalam bulan ramadhan dalam setiap tahunnya,
hanya akan menemui orang-orang yang benar-benar bertekad mempersiapkan
diri dengan kuantitas dan kualitas amal yang terbaik. Tamu itu tidak
akan singgah pada “rumah” yang jiwa-jiwa di dalamnya Alqur’an tidak
dikumandangkan, shalat tidak didirikan, shadaqah tidak diberikan, dan
kebaikan diabaikan. Maka dari itu, sebelum tamu agung itu datang,
mumpung masih ada waktu, sudah seharusnya setiap muslim mempersiapkan diri menyambut Ramadhan di bulan Sya’ban ini.
Persiapan Ruh dan Jasad
Rasulullah
SAW dan orang-orang shalih tidak pernah menyia-nyiakan keutamaan
Ramadhan sedikitpun. Rasulullah dan para sahabat memperbanyak puasa dan
bersedekah pada bulan Sya’ban sebagai latihan sekaligus tanda
kegembiraan menyambut datangnya Ramadhan. Anas bin Malik r.a. berkata, ”ketika
kaum muslimin memasuki bulan Sya’ban, mereka sibuk membaca Alquran dan
mengeluarkan zakat mal untuk membantu fakir miskin yang berpuasa.” Dengan
mengondisikan diri pada bulan Sya’ban untuk berpuasa, bersedekah dan
memperbanyak ibadah, kondisi ruhiyah akan meningkat, dan tubuh akan
terlatih berpuasa Dengan kondisi seperti ini, maka ketika memasuki bulan
Ramadhan, kondisi ruh dan iman telah membaik, yang selanjutnya dapat
langsung menyambut bulan Ramadhan yang mulia ini dengan amal dan
kegiatan yang dianjurkan. Di sisi lain, tidak akan terjadi lagi gejolak
fisik dan proses penyesuaian yang kadang-kadang dirasakan oleh
orang-orang yang pertama kali berpuasa, seperti lemas, demam dan
sebagainya.
Rasulullah
saw menganjurkan kepada kita agar kita memperbanyak puasa sunnah pada
bulan Sya’ban dengan cara memberikan contoh langsung. ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah saw berpuasa, sampai-sampai
kami mengiranya tidak pernah meninggalkannya.” Demikian dalam riwayat
Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa: “Beliau
melakukan puasa sunnah bulan Sya’ban sebulan penuh, beliau sambung
bulan itu dengan Ramadhan.” (Hadits shahih, lihat Riyadhush-Shalihin,
Fathul Bari, Sunan At-Tirmidzi dan lain-lain).
Anjuran
tersebut dikuatkan lagi dengan menyebutkan keutamaan bulan Sya’ban.
Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Katanya: “Ya
Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa pada bulan-bulan yang
lain sebanyak puasa di bulan Sya’ban ini? Beliau saw menjawab: “Itulah
bulan yang dilupakan orang, antara Rajab dan Ramadhan, bulan
ditingkatkannya amal perbuatan kepada Allah swt Rabbul ‘Alamin. Dan aku
ingin amalku diangkat sedang aku dalam keadaan berpuasa.” (HR An-Nasa-i).
Persiapan Materi
Bulan Ramadhan merupakan bulan muwaasah
(bulan santunan). Sangat dianjurkan memberi santunan kepada orang lain,
betapapun kecilnya. Pahala yang sangat besar akan didapat manakala ia
memberi kepada orang lain yang berpuasa, sekalipun sekedar sebiji kurma
dan seteguk air. Kedermawanan Rasulullah saw pada bulan Ramadhan
sangat besar. Digambarkan dalam beberapa riwayat bahwa sentuhan
kebaikan dan santunan Rasulullah saw kepada masyarakat sampai merata,
lebih merata ketimbang sentuhan angin terhadap benda-benda di
sekitarnya.
Persiapan Pikir (Persepsi)
Persiapan
pikir ini setidaknya meliputi minimal dua hal, yaitu: 1) Mempunyai
persepsi dan pengetahuan yang utuh tentang Ramadhan dan keutamaannya,
2) merencanakan kegiatan-kegiatan di bulan ramadhan yang dapat
mengantarkannya mencapai ketaqwaan. Persepsi
dan pengetahuan yang utuh tentang bulan Ramadhan akan menghindarkan
diri dari kesalahan-kesalahan yang bisa merusak ibadah Ramadhan
disebabkan oleh ketidaktahuan kita. Persepsi yang utuh tentang
keutamaan Ramadhan akan mendorong tumbuhnya motivasi dari dalam diri
untuk menjalani ibadah dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, pada
bagian ini, persiapan-persiapan yang bisa dilakukan adalah dengan
banyak bertanya, belajar dan membaca. Orang akan mampu mengerjakan
sesuatu dengan sempurna dan riang gembira jika ia tahu dengan pasti apa
alasan, tujuan dan manfaat di balik sesuatu yang ia kerjakan. Demikian
pula dengan Bulan Ramadhan. Tidak mengherankan jika kemudian Nabi saw
dan para sahabat menyambut Ramadhan dengan senyum dan tahmid, dan
melepas kepergian Ramadhan dengan tangis.
Marhaban yaa Ramadhan…
(Disarikan dari berbagai sumber. Pernah dimuat di Al Rasikh minggu pertama September 2006, dimuat ulang dengan perbaikan. Red.)
0 komentar:
Posting Komentar